Ayat-Ayat Cinta (AAC), Novel vs Film

ayat_ayat_cinta.gifTahun 2004, Ayat-Ayat Cinta hanyalah rangkaian cerita bersambung yang hadir hampir setiap hari di surat kabar Republika. Di dalamnya ada Fahri, Maria, Aisha, Nurul dan Noura. Gaya bahasa serta lingkungan ceritanya yang sangat Islami tentu menarik perhatian para ikhwah, terutama yang sedang bersemangat mendalami Al-Qur’an, apalagi yang belum menemukan pasangan hidupnya.

Setelah dibukukan, saking larisnya, novel pembangun jiwa ini cukup sulit untuk diperoleh, bahkan pada sebuah pameran buku sekalipun. Hingga tulisan ini dibuat, diperoleh keterangan bahwa Ayat-Ayat Cinta telah dicetak 37 kali , dengan jumlah lebih dari 750 ribu eksemplar. Melihat potensi itu, juragan sinetron Indonesia pun tertarik membuat film berlatarkan cerita pada novel ini.

aac.jpgFilm Ayat-Ayat Cinta telah disajikan kepada publik, sound track-nya pun terdengar di setiap kesempatan. Namun apa yang disajikan di dalam film tersebut masih sangat jauh dari novel aslinya. Dari cuplikan-cuplikannya, dapat ditebak bahwa sang produser lebih ingin menguatkan ‘cinta’ daripada ‘ayat’. Penonton mungkin dengan mudahnya akan menuduh bahwa penulis skenario dan sutradara lebih mengedepankan nuansa percintaan karena nafsu, dibandingkan kecintaan para tokoh utamanya kepada Al-Qur’an serta percintaan mereka yang didasari kecintaan kepada Allah SWT.

Tapi apa kata sutradaranya?

hanung.jpgDemi Alloh, gajiku tidak sebanding dengan persoalan yang aku hadapi. Kalau orang mengira aku melakukan ini semua demi uang? Demi jualan? Kehormatan? Wallohi, orang itu benar-benar picik. Tidak ada keuntungan materi yang aku dapat di film ini. Semata-mata hanya idealismeku saja yang berharap Film Indonesia tidak hanya diisi oleh Horor dan percintaan remaja Kota. Tapi apa itu idealisme? Apakah Kang Abik (Habiburrahman El Shirazy, penulis novel) dan jutaan pembaca AAC mengerti soal idealisme ini? Apa yang mereka bisa berikan buat mengganti segudang persoalan kami disini? Mereka tidak lebih dari sekedar penonton yang menuntut hiburan atau membanding-bandingkan Film dengan Novelnya. Lantas jika tidak sama dengan Novelnya terus mencaci maki, menganggap bodoh dan kafir sutradara yang membuat. Karena hal-hal islami dalam Novel tidak tampak, tidak terasa.Lagi-lagi dadaku sesak. Tapi aku tidak bisa lari. Aku sudah berjanji kepada diriku, anakku dan ibuku untuk memberikan yang terbaik. ‘Kalau kamu sudah bisa membuat film, buatlah film tentang agamamu.’, kata ibuku yang terus menerus terngiang. (Hanung Bramantyo)

Jadi, apa kesimpulannya? Sebagai nilai positif, dari film tersebut semoga semakin banyak yang tertarik untuk membaca novel aslinya kemudian mendapatkan hidayah berupa pencerahan ruhiyah, penyadaran pemikiran serta penambahan keimanan kepada Allah SWT.

Adapun bagi yang telah membaca novel Ayat-Ayat Cinta dan belum menyaksikan filmnya, Anda berhak untuk tidak menontonnya, bila merasa bahwa apa yang disajikan di dalam film Ayat-Ayat Cinta tidaklah lebih baik daripada apa yang tercantum di dalam novel aslinya.

Dikutip dari novel Ayat-Ayat Cinta:

“Maria suka pada Al-Qur’an. Ia sangat mengaguminya, meskipun ia tidak pernah mengaku muslimah. Penghormatannya pada Al-Qur’an bahkan melebihi beberapa intelektual muslim”

“Aku memandang ke arah Aisha, pada saat yang sama dua matanya yang bening di balik cadarnya juga sedang memandang ke arahku. Pandangan kami bertemu. Dan ces! Ada setetes embun dingin menetes di hatiku. Kurasakan tubuhku bergetar. Aku cepat-cepat menundukkan kepala. Dia kelihatannya melakukan hal yang sama. Kukira Aisha tidak setegang diriku, sebab dia merasa lebih santai. Wajahnya tersembunyi di balik cadarnya. Sementara diriku, aku tidak tahu seperti apa bentuk mukaku. Aku harus mencari cara untuk menghilangkan ketegangan ini.
….
“Ini adalah majelis ta’aruf untuk dua orang yang sedang berniat untuk melangsungkan pernikahan. Menurut ajaran nabi, seorang pemuda boleh melihat wajah perempuan yang hendak dinikahinya. Untuk melihat daya tarik dan untuk menyejukkan hati.”

“Suamiku, terserah mau kau atur bagaimana ATM yang ada di tanganmu itu. ATM yang aku pegang ini berisi dana dari aset bisnis di Jerman. Sekarang telah terisi dana 7 juta dollar. Sistemnya aku buat seperti yang di Turki. Tiap bulan cuma sepuluh persen dari laba bersih perusahaan yang masuk ke pemilik perusahaan. Dan yang ini tidak akan kita otak-atik dulu sampai nanti ketika kita tinggal di Indonesia. Kita akan menggunakannya sebaik mungkin bersama-sama. Jadi aku tidak akan mengutik-utik ATM yang ada di tanganku. Lapar kenyangku adalah atas kebijakanmu. Kaulah yang menjatah dana untuk diriku. Kaulah yang menentukan besarnya dana belanja tiap bulan. Kalau aku minta sesuatu maka aku akan minta padamu. Kaulah imamku.

” Mendengar apa yang dituturkan Aisha aku jadi sedih, pucat merinding dan bergetar. Aku memegang ATM senilai $ 3.430.000,- atau kira-kira sebesar 30 milyar rupiah. Aku merasa gunung Merapi hendak menimpaku.”
….
“Oh begitu cepat perubahan terjadi. Kemarin malam aku masih tidur nyaman di hotel berbintang di Alexandria bercinta dengan Aisha begitu mesranya. Malam ini aku meringkuk kedinginan di penjara bawah tanah. Aku nyaris tidak bisa memejamkan mata. Seluruh tulang terasa ngilu, kulit kedinginan, punggung perih bukan main, dan kemaluan sakit luar biasa. Bayang-bayang kematian mengintai di semua sudut ruangan, tapi aku bersikeras untuk bertahan.”
…..

“Fahri, menikahlah dengan Maria. Aku ikhlas.”
“Tidak Aisha, tidak! Aku tidak bisa.”
“Menikahlah dengan dia, demi anak kita. Kumohon! Jika Maria tidak memberikan kesaksiannya maka aku tak tahu lagi harus berbuat apa untuk menyelamatkan ayah dari anak yang kukandung ini”, setetes air bening keluar dari sudut matanya.
“Aisha, hidup dan mati ada di tangan Allah.”
“Tapi manusia harus berusaha sekuat tenaga. Tidak boleh pasrah begitu saja. Menikahlah dengan Maria lalu lakukanlah seluruh petunjuk dokter untuk menyelamatkannya.”
“Aku tak bisa Aisha. Aku sangat mencintaimu. Aku ingin kau yang pertama dan terakhir bagiku.”
“Kalau kau mencintaiku maka kau harus berusaha melakukan yang terbaik untuk anak kita. Aku ini sebentar lagi menjadi ibu. Dan seorang ibu akan melakukan apa saja untuk ayah dari anaknya. Menikahlah dengan Maria. Dan kau akan menyelamatkan banyak orang. Kau menyelamatkan Maria. Menyelamatkan anak kita. Menyelamatkan diriku dari status janda yang terus membayang di depan mata dan menyelamatkan nama baikmu sendiri.”
“Aku mencintai kalian semua. Tapi aku lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. Budak hitam yang muslimah lebih baik dari yang bukan muslimah. Aku tak mungkin melakukannya isteriku.”
“Aku yakin Maria seorang muslimah.”
“Bagaimana kau bisa yakin begitu?”
“Dengan sekilas membaca diarynya. Jika dia bukan seorang muslimah dia tidak akan mencintaimu sedemikian kuatnya. Kalau pun belum menjadi muslimah secara lisan dan perbuatan, aku yakin fitrahnya dia itu muslimah.”
“Aku tidak bisa berspekulasi isteriku. Aku tidak bisa melakukannya. Dalam interaksi sosial kita bisa toleran pada siapa saja, berbuat baik kepada siapa saja. Tapi untuk masalah keyakinan aku tidak bisa main-main. Aku tidak bisa menikah kecuali dengan perempuan yang bersaksi dan meyakini tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Kalau untuk bertetangga, berteman, bermasyarakat aku bisa dengan siapa saja. Untuk berkeluarga tidak bisa Aisha. Tidak bisa!”
“Suamiku aku sependapat denganmu. Sekarang menikahlah dengannya. Anggaplah ini ijtihad dakwah dalam posisi yang sangat sulit ini. Nanti kita akan berusaha bersama untuk membawa Maria ke pintu hidayah. Jika tidak bisa, semoga Allah masih memberikan satu pahala atas usaha kita. Tapi aku sangat yakin dia telah menjadi seorang muslimah. Jika tidak bagaimana mungkin dia mau menerjemahkan buku yang membela Islam yang kau berikan pada Alicia itu. Itu firasatku. Kumohon menikahlah dan selamatkan Maria. Bukankah dalam Al-Qur’an disebutkan, Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya?”
Aku diam tidak bisa bicara apa-apa. Aku tidak pernah membayangkan akan menghadapi suasana psikologis yang cukup berat seperti ini. Aisha mengambil cincin mahar yang aku berikan di jari manis tangan kanannya.

Format PDF dari novel Ayat-Ayat Cinta dapat diperoleh di sini.

Share

Related posts

One Thought to “Ayat-Ayat Cinta (AAC), Novel vs Film”

  1. Wahai saudaraku, bantulah aku, bagaiman aku ketemu dengan Tuan Habbiburohman El Sy. Aku perlu, perlu dan butuh

Leave a Comment